Hilirisasi Emas Jadi Alat Penindasan Baru? Ketua Umum DPP GMI: “Ini Bukan Lagi Soal Ekspor, Ini Soal Kedaulatan Bangsa dan Daerah!

Uncategorized334 Dilihat
banner 468x60
Spread the love

Chakra-news.com // Jakarta,– Polemik pertambangan emas kembali membara, kali ini bukan sekadar isu lingkungan biasa. Di balik tambang dan smelter, tersingkap skenario besar bernama hilirisasi yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai penyelamat ekonomi nasional, tapi oleh lainnya justru sebagai wajah baru kolonialisme ekonomi.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Generasi Milenial Indonesia (DPP GMI), Albar, angkat suara dengan sikap tegas dan tanpa tedeng aling-aling. Ia menyebut eksploitasi nikel di Raja Ampat sebagai pengkhianatan terhadap konstitusi dan warisan ekologis bangsa.

banner 336x280

“Ini bukan sekadar tambang di daerah tapi berdampak ke hutan lindung. Ini adalah ujian terhadap akal sehat, terhadap Pasal 33 UUD 1945, terhadap martabat kita sebagai bangsa,” kata Albar dalam pernyataan resminya, Jumat (27/6/2025).

Sebagai daerah pemilik cadangan emas terbesar di Sulawesi Selatan, Indonesia seharusnya menjadi aktor utama dalam transisi energi global. Tapi realitasnya, dominasi investasi asing dan kepentingan elit telah menjadikan kita sekadar “tuan tanah bodoh” di daerah sendiri.

“Apakah kita benar-benar memegang kendali atas emas? Atau kita hanya jadi penonton dalam skenario besar industrialisasi global yang dikendalikan negara dan daerah industri?” tantang Albar.

Rencana tambang di kabupaten sinjai bukan sekadar bencana ekologis. Ia adalah bencana ideologis, karena menabrak nalar ekologis dan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, termasuk Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 dan No. 3/PUU-VIII/2010.

Negara dan daerah tak punya hak menjual atau merusak. Hak menguasai harus berarti tanggung jawab mengelola dengan keadilan ekologis, bukan jadi calo bagi investor tambang,” tegasnya.

Dalam narasi “kemajuan” dan “hilirisasi”, yang sering terjadi justru adalah luka. Albar menyoroti kondisi riil di lapangan, seperti di Morowali, Konawe, Obi, dan Halmahera – tempat masyarakat hidup dalam kemiskinan, konflik agraria, pencemaran, dan keterasingan di tanah sendiri.

“Di tengah gemerlap smelter dan investasi jumbo, rakyat hanya kebagian debu, limbah, dan luka sosial yang tak kunjung sembuh.”

Menurut Albar, hilirisasi kini bukan hanya soal ekonomi, tapi telah masuk ke ranah perang geopolitik. Ketika produk nikel dan emas Indonesia berisiko ditolak di pasar AS akibat status FEOC, maka nyatalah: tanpa strategi nasional yang tangguh, Indonesia akan terjebak dalam permainan elite global.

Kita butuh strategi nasional yang berdaulat, bukan jadi pion dalam catur Tiongkok dan Amerika.”

Empat Jalan Radikal Menuju Hilirisasi yang Berkeadilan

Albar menyerukan empat langkah berani agar hilirisasi tak berubah menjadi jebakan neo-kolonialisme:

1. Tempatkan hilirisasi dalam kerangka transisi energi nasional, bukan hanya orientasi pasar dan ekspor.

2. Bangun diplomasi ekonomi cerdas, agar produk hilir Indonesia tetap punya akses global tanpa tunduk pada tekanan politik luar.

3. Prioritaskan perlindungan ekologis dan sosial, dengan hukum yang tegas dan berpihak pada masyarakat lokal serta adat.

4. Perkuat kelembagaan nasional, dari IBC hingga otoritas ekspor, agar kendali nikel ada di tangan anak bangsa.

Hilirisasi bukan tujuan. Itu hanya jalan. Tujuan akhirnya, menurut Albar, haruslah kedaulatan energi, kemandirian industri, dan kesejahteraan rakyat.

Kita tak butuh tambang yang membunuh, kita butuh industri yang membebaskan. Jangan biarkan daerah ini jadi ladang eksploitasi abadi,” tutup Albar, mengutip Trisakti Bung Karno—kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian dalam kebudayaan.

( Hbb )

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed