Surabaya Menggugat: Suara Ulama untuk Negeri

Uncategorized68 Dilihat
Spread the love

chakra- news.com // JAKARTA (25/09) – Hari itu, Surabaya seolah berhenti sejenak. Pondok Pesantren Hidayatullah menjadi pusat perhatian. Bukan karena sebuah acara seremonial, tapi karena hadirnya wajah-wajah yang membawa sejarah dan wibawa. KH Ihya Ulumudin, dengan tatapan teduh yang menyimpan kebijaksanaan puluhan tahun. Prof. Daniel M. Rosyied, intelektual maritim yang konsisten mengingatkan pentingnya kedaulatan.

Dan sosok yang jarang muncul di panggung, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, hadir membawa pesan istiqamah. Di sekeliling mereka duduk habaib dengan sorban putih, kyai kampung dengan sarung sederhana, purnawirawan dengan rambut memutih.

banner 336x280

Tokoh masyarakat dari berbagai kalangan seperti Tamsil Linrung Wakil Ketua DPD RI & Jendral Gatot Nurmantyo mantan Panglima TNI. Suasana hening, tapi tegang. Bukan hening karena kosong, melainkan hening karena isi. Setiap wajah memancarkan kegelisahan yang sama: bangsa ini sedang berjalan di tepi jurang.

Maka lahirlah sebuah pernyataan sikap. Panjang, tegas, tanpa tedeng aling-aling. Seperti air yang memantulkan wajah kita sendiri, kadang menyakitkan, tapi itulah kebenaran.

Tentang Korupsi dan Hukum

Ulama membuka gugatan dengan isu yang paling busuk: korupsi. Mereka mendesak Presiden dan DPR segera mengesahkan RUU Perampasan Aset Koruptor. Tidak cukup menghukum badan, uang rakyat yang dijarah harus dikembalikan. “Korupsi bukan hanya mencuri uang, tapi merampok masa depan bangsa,” begitu kata Buya Hamka pernah menulis.

Sorotan juga diarahkan pada hukum yang sering pincang. KPK dan Kejaksaan diminta bertindak tegas, bahkan bila kasus itu menyeret lingkaran kekuasaan. Bila hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas, maka ia bukan lagi hukum—melainkan komedi yang menipu rakyat.

Politik dan Kepemimpinan

Ulama meminta revisi paket UU Politik—dari UU MPR, DPR, DPD, Partai Politik hingga Pemilu. Semua harus kembali ke ruh Pancasila dan UUD 1945 asli. Politik hari ini dianggap lebih sibuk mengurus kuota kursi ketimbang menyalurkan aspirasi rakyat.

Mereka juga menegur langsung Presiden Prabowo. “Kabinet bukan tempat kompromi, tapi mesin kerja.” Maka reshuffle adalah keniscayaan. Presiden dituntut untuk meneguhkan kepemimpinannya, jangan biarkan kapal besar ini karam hanya karena awak sibuk rebutan jabatan.

Polisi dan Penyimpangan

Sorotan tajam diarahkan pada Polri. Tugasnya jelas dalam UU No. 2/2002: menjaga kamtibmas, menegakkan hukum, melindungi rakyat. Tapi yang terjadi sebaliknya. Kasus KM50 masih gelap, judi online merajalela dengan melibatkan oknum aparat, kasus Sambo memalukan, narkoba terus masuk, curanmor tak tertangani, hingga sengketa tanah yang ditunggangi aparat.

Maka suara dari Surabaya jelas: ganti Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Butuh sosok baru yang berjiwa reformasi. Polri harus kembali pada khittanya—bukan jadi alat oligarki.

Pembangunan yang Merampas

Para ulama juga menggugat proyek-proyek besar: Eco City, PIK-2, Surabaya Waterfront Land. Semua dianggap merusak lingkungan dan menyingkirkan rakyat pesisir. Pembangunan yang hanya menguntungkan segelintir orang, memperlebar jurang sosial.

“Kalau pembangunan justru membuat rakyat kehilangan tanah dan lautnya, itu bukan kemajuan, melainkan kemunduran,” ujar seorang kyai sepuh.

Isu Lama yang Menganga

Mereka menolak legitimasi PKI sebagai korban HAM, sebagaimana tercermin dalam Keppres 17/2022 dan Inpres 2/2023. Sejarah, bagi ulama, tidak boleh dipelintir. Luka 1965 terlalu dalam untuk dilupakan dengan selembar kertas politik.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi janji besar Presiden juga tak lepas dari kritik.

Di lapangan, penyimpangan terlalu banyak. Ada sekolah yang tidak kebagian, ada kontraktor yang menumpuk keuntungan, ada kualitas makanan yang memprihatinkan. Bila tidak segera diperbaiki, program ini hanya akan jadi proyek gagal yang menguras uang negara.

Palestina dan Israel

Di titik ini, suara ulama bulat: mendukung penuh perjuangan Palestina di PBB. Tetapi menolak keras wacana membuka hubungan diplomatik dengan Israel. “Tidak bisa kita menolong Palestina dengan satu tangan, lalu menggenggam Israel dengan tangan lain. Itu pengkhianatan,” tegas seorang habaib.

Konstitusi dan Kepemimpinan Nasional

Mereka mendesak MPR menetapkan kembali UUD 1945 asli sebagai konstitusi. Bagi mereka, amandemen berulang kali justru membuat bangsa kehilangan arah.

Lebih keras lagi, ulama menyerukan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Sejak awal, pencalonannya dinilai cacat hukum. Membiarkan itu sama saja melegalkan pelanggaran konstitusi. Gugatan ini mungkin dianggap berbahaya, tapi bagi mereka, menutup mata justru lebih berbahaya bagi masa depan bangsa.

Kebenaran yang Tidak Boleh Ditutup

Pernyataan juga menyebut dugaan ijazah palsu mantan Presiden Jokowi. Ulama mendesak aparat hukum untuk serius mengusut, agar kebenaran tegak. “Bangsa ini terlalu lama hidup dalam bayang-bayang kebohongan,” kata seorang tokoh.

Tak lupa, perlindungan terhadap majelis ulama dan habaib juga ditegaskan. Akhir-akhir ini, banyak majelis mendapat ancaman pembubaran dari kelompok fanatik. Polisi diminta menjamin keamanan, agar umat bisa beribadah tanpa rasa takut.

Suara dari Surabaya

Pernyataan sikap ini bukan dibuat untuk melawan negara, tapi untuk menyelamatkannya. Buya Hamka pernah berpesan: “Kalau bangsa ingin kuat, jangan biarkan ulama diam. Sebab bila ulama diam, matilah hati nurani bangsa.”

Hari itu, ulama tidak diam. Mereka menggugat. Tentang korupsi, hukum, politik, lingkungan, konstitusi, hingga Palestina. Semuanya demi satu hal: agar Indonesia tetap tegak, adil, dan merdeka.

Dari Surabaya, suara itu menggema. Suara ulama, suara nurani bangsa. Ketika ulama bicara, negara harus mendengar.

( Tim )