Kuasa Hukum Ungkap Tekanan dan Dugaan Pemaksaan Dalam Sengketa Lahan PLTU Makassar

Uncategorized225 Dilihat
banner 468x60

Chakra-news.com // Jakarta — (Insight Media) — Kuasa hukum penggugat dalam perkara sengketa lahan PLTU Makassar, mengungkap sejumlah tekanan dan dugaan pemaksaan yang dialaminya selama menangani kasus tersebut. Ia juga mengklaim telah bekerja selama sembilan bulan untuk memperjuangkan hak kliennya, namun akhirnya justru diminta mengembalikan uang jasanya.

“Saya sudah bekerja sembilan bulan. Saya adukan putusan PK ke Komisi Yudisial,” ujar kuasa hukum itu dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, 25 Juni 2025.

banner 336x280

Apa yang Terjadi?

Sengketa bermula saat kliennya, Pak Pajak, mempersoalkan lahan seluas 8 ribu meter persegi di atas area pembangunan PLTU di Makassar. Menurut kuasa hukum, lahan itu adalah bagian dari ribuan hektare tanah milik warga yang belum diselesaikan pembayarannya secara adil oleh pihak berwenang.

“Ini tanah rakyat. Yang dipersoalkan 8 ribu meter, tapi di atasnya berdiri PLTU,” katanya.

Ia juga menyebut, kliennya hanya dibayar Rp600 ribu per meter berdasarkan putusan pengadilan tingkat pertama. Putusan itu kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi. Namun, saat naik ke Mahkamah Agung, hasilnya justru menguatkan putusan sebelumnya.

Langkah Hukum dan Mediasi Politik

Tidak puas dengan hasil itu, kuasa hukum mengajukan laporan ke Komisi Yudisial. Ia mengaku berhasil mempertemukan kliennya dengan Ketua Komisi Yudisial.

“Saya bisa bawa klien saya langsung ke Ketua KY, karena teman saya, Pak Julian, di HMP,” katanya.

Ia menyebut, Komisi Yudisial lalu memutuskan bahwa hakim dalam perkara tersebut melanggar kode etik, seperti tidak profesional dan berpihak.

“Putusan itu jadi prestasi saya. Itu membuka peluang hukum baru,” ujarnya.

Selain Komisi Yudisial, kuasa hukum juga mengadukan perkara ini ke Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ia mengaku menjalin komunikasi dengan Ketua Badan Akuntabilitas Publik (BAP) DPD, yang juga rekannya sejak lama.

“Saya ke teman saya di BAP DPD. Dia dari Makassar juga,” katanya.

DPD merespons cepat. Sidang khusus membahas sengketa itu digelar dua kali, masing-masing di Jakarta dan Makassar.

“Di kantor Gubernur Sulsel, PLN hadir, semua pihak hadir. Itu kemenangan rakyat,” ucapnya.

Dugaan Pemaksaan dan Pencabutan Kuasa

Namun, di tengah proses mediasi, kuasa hukum justru menghadapi tekanan. Ia mengaku diminta mengembalikan honor yang telah diterimanya, padahal belum ada kesepakatan tertulis yang menyebut kegagalan dalam upaya hukumnya.

“Saya diminta uangnya dikembalikan, dianggap tidak kerja,” ujarnya.

Ia juga menyebut, beberapa orang bahkan mendatangi rumahnya di Bogor hingga dua kali untuk menagih uang tersebut.

“Mereka datang ke rumah saya, masuk ke dalam rumah, seperti tidak percaya saya tidak ada,” katanya.

Lebih jauh, ia mengaku sempat diancam akan kehilangan mobilnya jika tidak mengembalikan honor itu.

“Saya dipaksa buat surat pernyataan. Kalau enggak, mobil saya mau diambil,” ujarnya.

Menurutnya, ancaman itu muncul setelah ia berhasil membuka celah hukum melalui putusan KY dan DPD.

“Saya sudah capai dua hasil: putusan KY dan sidang DPD. Tapi justru kuasa saya dicabut,” katanya.

Ia juga menyebut pencabutan kuasa dilakukan atas permintaan pihak tertentu, meski sebelumnya ia telah mendapat dukungan penuh.

Apa yang Dipersoalkan?

Kuasa hukum menegaskan bahwa tuntutannya sejak awal adalah membela hak warga atas tanah mereka yang digusur. Ia mempertanyakan putusan Mahkamah Agung yang tetap memenangkan pihak pembebasan lahan meski bukti-bukti hukum telah digugat secara etik.

“MA harusnya pertimbangkan rekomendasi KY. Tapi kenapa tetap kalah?” tanyanya.

Ia menduga ada intervensi politik dalam perkara ini, mengingat lokasi lahan berada di bawah pengawasan keluarga elite politik.

“Tanah itu dekat kekuasaan. Adiknya Yusuf Kalla, Aksa Mahmud, juga disebut-sebut,” katanya.

Bagaimana Kelanjutannya?

Meski kuasanya dicabut, kuasa hukum itu mengaku tak akan membawa persoalan ini ke ranah pidana. Ia memilih mundur dan menyerahkan hasil perjuangannya kepada publik.

“Saya hanya ingin rakyat tahu, ini bukan soal uang. Tapi soal keadilan,” ujarnya.

Kasus ini menunjukkan bagaimana persoalan lahan di sekitar proyek strategis nasional bisa menyeret berbagai pihak, dari pengacara, lembaga negara, hingga elite politik. Namun, hingga kini, belum ada keterangan resmi dari PLN maupun Mahkamah Agung terkait perkembangan terbaru perkara ini.

( Rudi )

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *